08 April 2009

Cita-cita, Keteguhan Tekad, dan Perubahan



Oleh : Heriyansyah Sawidin Muhammad Ja'far

”Bercita-citalah, sebab ia adalah setengah dari keperwiraan.”

Apa yang tidak berubah?
Memang zaman telah berubah. Abad ini tidaklah sama dengan masa silam, kala onta-onta menjadi tumpuan perhubungan, atau utusan raja mesti terengah-engah oleh surat gawat-darurat yang harus dihantarkan. Dahulu, dunia memiliki warna kemilau, tapi saat ini kemilau itu telah membuat silau...
Dan memang, setiap orang mesti berubah secara fisik dan mental ; dari kecil menjadi besar ; dari perangai kanak-kanak kepada sifat dan sikap dewasa.
Tapi ada yang tidak berubah (atau tidak boleh berubah), yaitu cita-cita dan tekad penuntut ilmu.
Saudaraku, tulisan singkat ini tidak bermaksud meng-kultumi (baca: menceramahi) anda, melainkan hanyalah luahan hati seorang anak manusia, yang prihatin dengan kondisi dirinya…
Sejak dahulu, cita-cita para penuntut ilmu tersimpul dalam khidmah terhadap ilmu itu sendiri, yaitu memperdalam dan menyebarkannya, dengan tujuan memberikan manfaat dan perbaikan kepada dirinya dan umat, serta menyatakan kebenaran. Semua itu mereka lakukan demi meraih ridha Allah dan pahala di sisi-Nya.
Termasuk yang tidak boleh berubah adalah, tabiat thullabil 'ilm yang pekerja keras, tekad mereka yang teguh, dan sabar dalam menghadapi kesusahan dalam menuntut ilmu.
Dari dahulu kala hingga zaman kontemporer ini, para penuntut ilmu selalu sama. Niat dan tujuan mereka satu. Thullabul 'ilm selalu teguh dan tabah dalam meraih apa yang mereka cari (baca: ilmu). Itulah mereka para penuntut ilmu sejati.
Yang tidak memiliki cita-cita dan sifat diatas, pada hakikatnya bukanlah penuntut ilmu, meski mereka berteriak: ”Akulah thalibul 'ilm!”. Yaitu mereka yang hanya mau bersenang-senang, dan tak mau menghadapi kesusahan dalam mempelajari ilmu ; Atau mereka yang belajar demi mendapatkan kesenangan duniawi. Nabi Saw. bersabda: ”Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dicari keridhaan Allah, akan tetapi ia tidak mempelajarinya melainkan untuk tujuan dunia, niscaya ia tidak akan menemukan bau surga di hari kiamat kelak.”

Jika demikian, betulkah kita seorang penuntut ilmu?
Ada orang merendah, katanya: ”Saya hanyalah seorang thalibul 'ilm.” Betulkah gelar thalibul 'ilm itu begitu rendah dan murah, sehingga dengan mudah disematkan kepada setiap orang?
Ada seorang pemuda Andalus berusia 20 tahun, namanya Baqiy bin Makhlid al-Andalusi. Keinginannya yang terbesar adalah menuntut ilmu pada Imam Ahmad di Baghdad. Akhirnya ia berangkat dari Andalus ke Baghdad dengan berjalan kaki (bayangkan jarak sejauh itu ia tempuh dengan berjalan kaki). Setibanya di Baghdad, ia mendengar Imam Ahmad sedang berada dalam mihnah khalqil Qur`an. Beliau tidak diizinkan keluar rumah. Bahkan, siapa yang datang ke rumahnya akan ditangkap oleh mata-mata penguasa untuk diinterogasi. Seandainya orang itu termasuk pendukung Imam Ahmad dalam masalah khalq Al-Qur`an maka ia juga akan dijebloskan ke penjara. Suatu kondisi yang sangat tidak memungkinkan sekaligus berbahaya untuk menuntut ilmu. Tapi apakah kondisi ini membuat ciut nyali tokoh kita ini?
Ternyata tidak. Niat yang tulus dan tekad yang membara membuatnya tak ingin berbalik. Dengan pakaian pengemis, ia datangi Imam Ahmad yang sedang menjalani tahanan rumah. Dengan suara parau ia berucap: "al-ajru rahimakumullah..." (minta sedekah, semoga Allah merahmatimu). Saat Imam Ahmad keluar menemuinya. ia sampaikan maksud kedatangannya ke Baghdad, dan ia telah menempuh jarak yang jauh untuk tujuan itu. Imam Ahmad tidak ingin mengecewakannya. Tapi beliau juga dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk memenuhi keinginan tamu dari Andalus ini. Akhirnya Baqiy mengusulkan sesuatu kepada Imam Ahmad. "Wahai Imam, aku adalah orang baru di sini dan belum ada yang mengenalku. Aku akan datang padamu setiap hari dengan pakaian pengemis lalu pura-pura minta sedekah, kemudian tuan keluar menemuiku dan menyampaikan satu hadits padaku. Seandainya tidak ada yang aku dapatkan kecuali satu hadits setiap hari sungguh itu cukup bagiku."
Imam Ahmad menyetujui usul cerdas itu. Dari metode cerdas dan penuh berani ini ia berhasil mengumpulkan tiga ratus hadits dari Imam Ahmad selama masa mihnah-nya.
Setelah masa mihnah Imam Ahmad berlalu, Baqiy mendapat tempat tersendiri di hati Imam Ahmad. Setiap ia datang ke majlis ilmu, Imam Ahmad selalu menyambutnya dengan wajah berseri. Sampai suatu ketika Imam Ahmad berkata tentang Baqiy: "Hadzallazi yastahiqq an yuthlaq 'alaih ismu thaalibil 'ilm (Inilah yang berhak disebut sebagai thalibul 'ilm)."
Bagaimanakah dengan kita? Tabahkah kita dengan musin dingin yang menggemeretakkan gigi? Dan musim panas yang menguras peluh? Adakah kita mampu bersabar menghadapi macetnya jalan-jalan Kairo? Ataukah kita takluk dengan kesukaran yang ada?
Jika kita tidak juga bersungguh-sungguh karena hangatnya musim panas, lalu kita kalah oleh sejuknya musim dingin, sementara di musin semi kita terlena oleh angin yang semilir dan taman yang mekar, maka sungguh merugilah kita ini.
Mari sesaat kita menerawang. Bukan ke langit dan awan. Bukan kepada senja yang menyemburatkan mega merah. Dan tidak pula kepada laut dan ombak yang memecah. Akan tetapi kepada diri sendiri ; Apakah yang kita perbuat? Bukankah di sana mereka menaruh harapan besar kepada kita? Bukannya ingin menakut-nakuti, tapi memang, sadar atau tidak, dia tas bahu dan pundak kita ada tanggun gjawab. Yaitu tanggung jawab seseorang yang menamakan dirinya seorang penuntut ilmu.

06 April 2009

Talfiq dalam Pembincangan Ulama


Oleh:
Heriyansyah Sawidin Muhammad Jakar


Taqdîm
Akibat munculnya ide taqlîd di kalangan kaum muslimin, timbullah perbincangan seputar syarat-syarat kebolehannya. Dari sinilah munculnya fikrah (ide) talfiq. Permasalahan talfiq tidak diperbingcangkan di kalangan ulama kecuali setelah abad ke-7 hijriyah.

Pengertian Talfîq
Talfîq dalam istilah para ulama adalah membuat (melakukan) suatu kaifiyat yang tidak terdapat dalam pendapat mujtahid.
Bentuk talfiq: Seseorang bertaqlid kepada mazhab-mazhab, dan melakukan suatu ibadah (amalan) yang memiliki beberapa rukun dan juz'iyat dengan dua qaul (mazhab) atau lebih secara sekaligus. Misalnya, menggunakan mazhab Syafi'i dalam sebuah rukun, dan dengan mazhab Hanbali pada rukun yang lain. Ataupun mengambil mazhab Syafi'i dalam masalah rukun wudhu', sedangkan dalam hal-hal yang membatalkan wudhu' ia menggunakan mazhab Hanafi.

Ruang Lingkup Talfiq
Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-perkara ijtihaad yang bersifat zhanniyah. Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menajdi ijma’, yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.


Hukum Talfîq
Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan.
Mayoritas ulama mutaakhkhirin mensyaratkan dalam kebolehan taqlid, bahwa ia tidak mengakibatkan talfiq antara mazhab. Bahkan ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.
Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'. Akan tetapi mereka (yang mengharamkan talfiq) menurut pendapatku, terbantahkan dengan hujjah dan dalil-dalil.”

Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah. Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena mengqiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:
1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.
2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim adanya ijma' adalah bathil.
Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq).”
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: ”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahn telah menjadi ijma', pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”

Dalil Kelompok yang Membolehkan
Setelah me-munaqasyah-kan pendapat golongan yang melarang talfiq, dan jelas kelemahan dalil mereka, berikut ini alasan-alasan golongan yang membolehkan.
1. Talfiq tidak dikenal di kalangan kaum salaf, semenjak masa Rasul hingga Imam yang empat dan murid-murid mereka. Pada zaman Rasulullah Saw. talfiq tidak dikenal karena merupakan masa turunnya wahyu, maka tidak ada majal bagi ijtihad. Adapun sesudah itu, fuqaha' memberikan fatwa, akan tetapi para ulama pada masa-masa tersebut tidak melarang untuk mengambil pendapat ulama atau mazhab yang lain. Bahkan Imam yang empat terkadang mengikuti Imam lain dalam sebuah amalan yang ia berbeda pendapat dengannya.
2. Sekiranya pendapat yang mengharamkan talfiq kita anggap benar, niscaya hal itu bertentangan dengan ketetapan mayoritas ulama yang tidak mewajibkan iltizâm dengan mazhab tertentu. Apabila iltizam dengan mazhab tertentu tidak wajib, berarti talfiq hukumnya boleh. Jika tidak, hal itu akan menyebabkan batalnya ibadah orang awam, karena hampir tidak kita temui orang awam yang seluruh amalannya sesuai dengan sebuah mazhab tertentu.
3. Pendapat yang melarang talfiq sangat bertentangan dengan dasar tegaknya syariat, yaitu memberi kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan. Orang awam tidak mungkin untuk secara penuh beramal berdasarkan mazhab tertentu, maka pengharaman talfiq akan menimbulkan kesukaran dan kesempitan, sedangkan agama datang untuk memberi kemudahan dan melenyapkan kesukaran.
4. Pengharaman talfiq akan membawa kepada haramnya taqlid yang telah mereka wajibkan atas orang awam.

Menurut penulis, pendapat yang mengharamkan talfiq tidak tertegak di atas hujjah, melainkan ia batal dengan hujjah. Sesungguhnya agama ini adalah satu, dan syariat adalah satu. Tidak terdapat nash yang memerintahkan untuk iltizam dengan sebuah mazhab saja, tidak pula ada satu ayat atau hadits pun yang melarang talfiq. Lagi pula, talfiq tidak dikenal di kalangan ulama salaf, bahkan tidak dikenal di masa Imam yang empat dan murid-murid mereka. Imam yang empat yang tidak pernah menyuruh untuk iltizam dengan mazhabnya atau satu mazhab tertentu. Apabila shâhibul mazhab sendiri tidak menyuruh demikian, dan tidak pula melarang mengambil pendapat mazhab lain, maka bagaimana mungkin orang yang bukan pemilik mazhab melakukan hal itu???

Al Kamâl bin Hammâm berkata dalam kitab At Tahrir: ”Seorang muqallid boleh bertaqlid kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jika ia mengambil pendapat yang paling ringan (mudah) dari berbagai pendapat-pendapat mazhab, saya tidak mengetahui ada larangannya, baik dari naql maupun 'aql. Dan apabila seseorang mencari pendapat yang paling ringan baginya dari pada pendapat seorang mujtahid, tidak aku ketahui ada celaan atasnya dari syariat, sedangkan Rasulullah menyukai sesuatu yang ringan atas umatnya”.

Sesungguhnya agama ini adalah mudah dan tidak sulit. Dan pendapat yang membolehkan talfiq merupakan pintu kemudahan bagi umat ini. Mazhab-mazhab bukan agama-agama, sehingga haram untuk digabungkan. Tidak seperti sekte-sekte Nasrani atau Yahudi, mazhab-mazhab dalam Islam merupakan satu kesatuan. Ia adalah komponen-komponen agama, yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Merupakan kewajiban umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah di saat terjadi khilaf, pendapat mana yang paling dekat kepada dua sumber ini, itulah yang harus kita ambil, tanpa i'tibar kepada mazhab-mazhab. Maka kebolehan talfiq merupakan jalan bagi umat Islam, untuk dapat menunaikan amal ibadah dengan cara dan bentuk yang paling baik dan sempurna.

Talfiq yang Terlarang
Walau demikian, para ulama yang membolehkan talfiq juga melarang beberapa bentuk talfiq, yang akan kita sebutkan secara ringkas insya Allah.
1. Talfiq yang terlarang karena dzatnya sendiri. Yang demikian seperti bahwa talfiq tersebut membawa kepada penghalalan khamar, zina, dan yang seumpamanya.
2. Talfiq yang terlarang bukan karena dzatnya. Jenis ini ada tiga macam:
- Melakukan talfiq dengan maksud mencari keringanan (rukhshah). Misqalnya seseorang mengambil yang paling ringan dari setiap mazhab, tanpa ada unsur darurat atau udzur. Termasuk ke dalam jenis ini: mencari keringanan untuk bermain-main dengan syariat, dan mengambil pendapat-pendapat yang lemah untuk atas dasar kelezatan dan syahwat.
- Talfiq yang menyebakan jatuhnya keputusan hakim, karena hukum yang ditetapkan hakim adalah untuk menghilangkan pertentangan dan menghindarkan kekacauan.
- Talfiq yang menyebabkan mundur (menarik diri) dari sesuatu yang sudah dilakukan secara taqlid, atau menarik diri dari sesuatu yang telah disepakati merupakan lawaazim (akibat yang tidak dapat dihindari) dari masalah yang dilakukan dengan taqlid. Contoh yang pertama: jika seseorang mentalaq isterinya dengan mengatakan: 'engkau tertalaq buat selamanya', yang menurutnya jatuh talaq tiga dengan lafazh tersebut, dan ia berazam bahwa wanita tersebut telah haram atasnya, kemudian setelah itu ia berpendapat bahwa itu adalah talaq raj'iy, lalu ia ingin rujuk kepada wanita tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Contoh bentuk kedua, jika seseorang bertaqlid kepada Abu Hanifah tentang sahnya nikah tanpa wali, niscaya sah apabila ia menjatuhkan talaq, sebab sahnya talaq merupakan laazim (akibat yang tidak dapat dihindari) dari sahnya akad nikah berdasarkan ijma'. Lalu, apabila ia mentalaq isterinya dengan thalaq tiga, dan ia bertaqlid kepada Syafi'i dalam hal tidak jatuhnya thalaq karena keadaan nikah yang tanpa wali, hal ini tidak dibolehkan baginya, karena ia menarik diri taqlid pada sesuatu yang lazim secara ijma'.
Akan tetapi perlu dimaklumkan, bahwa terlarangnya talfiq yang menyebabkan menarik diri dari apa yang telah ia lakukan secara taqlid, hanyalah apabila hal itu terjadi pada sebuah kejadian, sedangkan apabila yang melakukan pada kejadian yang berbeda, misalkan pada pernikahannya yang pertama, ia mengambil mazhab Hanafi tentang sahnya nikah tanpa wali, kemudian pada pernikahan yang lain ia mengambil mazhab Syafi'i bahwa nikha tanpa wali tidak sah, maka yang seperti ini dibolehkan.
Hal ini dilarang karena ia mengakibat rusaknya sendi-sendi syariat, dan membawa kepada kekacauan, seperti hubungan yang haram (zina), dan menyebabkan anak-anak menjadi anak-anak zina.
Adapun dalam permasalahan ibadah dan takâlîf yang Allah berikan kelapangan di dalamnya, maka talfiq tidak terlarang, meski menyebabkan penarikan diri dari apa yang telah ia lakukan dengan taqlid.

Kesimpulannya:
Kriteria kebolehan talfiq ataupun terlarangnya adalah, apabila talfiq menimbulkan pengacauan terhadap sendi-sendi agama atau bertentangan dengannya, serta melenyapkan hikmah syariat, maka talfiq tersebut haram hukumnya. Apabila talfiq tersebut menyokong sendi-sendi syariat serta hikmah-hikmah di dalamnya, maka hal itu dibolehkan.
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili mengatakan: ”Talfiq yang dibolehkan menurut pendapatku adalah ketika ada hajat dan dharurat kepadanya, bukan karena kesia-siaan dan atau mencari pendapat yang paling mudah dan enak, tanpa maslahat syar'iyah. Dan talfiq itu terbatas pada sebagian hukum-hukum ibadah, dan muamalat yang bersifat ijtihadiyah, bukan qath'iyah”.
Wallamu a'lamu bishshawab.

SIMEULUE ; MUTIARA ELOK NAN PERMAI DI SAMUDERA HINDIA



Oleh:
Heriyansyah Sawidin Muhammad Jakfar

Dengan sampan kubelah lautan, tiada peduli terpaan angin laut selatan, dan gelombang samudera Hindia yang menghantam.
Hutan kujelajahi, bukit kudaki dan lembah kulalui. Itulah aku 'Anak Ulao' Simeulue.


Jika anda memandangi sebuah peta, dan mata anda tertuju pada wilayah Nanngroe Aceh Darussalam, akan kelihatan sebuah pulau kecil berdiri kokoh di samudera Hindia, tepatnya di perairan barat Aceh. Itulah Simeulue yang dikenal orang sebagai salah satu penghasil cengkeh terbesar di Indonesia.
Keterisoliran telah menyebabkan ia tak terlalu dikenal. Kiranya gempa dan tsunami juga membawa berkah, sebab pulau penghasil kerbau ini mulai dikunjungi dan dikenali oleh orang luar, termasuk negara asing tentunya.
Mulanya Simeulue adalah bagian dari kabupaten Aceh Barat, dipimpin oleh seorang kepala PERWAKAB (Perwakilan Kabupaten). Barulah pada tahun 1996 statusnya berubah menjadi kabupaten administratif, kemudian resmi menjadi sebuah kabupaten pada tahun 2000 berdasarkan UU No. 48 Tahun 1999.

Kilas Balik Masa Silam
Menurut cerita tutur turun temurun, pulau penghasil kopra dan minyak kelapa ini tidaklah masuk dalam kerajaan Aceh mulanya, barulah pada masa Sultan Iskandar Muda bertahta, seorang wanita Simeulue menceritakan keberadaan pulau ini kepada Sultan. Oleh karena belum tersentuh oleh dakwah Islam, Sultan mengutus seorang ulama dari Minagkabau yang dikenal dengan sebutan Tgk. Di Ujung untuk menyebarkan Islam di sana. Berdasarkan cerita yang berkembang, Tgk. Di Ujung didampingi oleh puteri Simeulue tersebut dalam pelayarannya menuju ke pulau. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Minangkabau (Sumatera Barat dan beberapa daerah di sekitarnya) masuk dalam kerajaan Aceh saat itu.
Konon, kala itu Simeulue diperintah oleh seorang raja bernama Songsong Bulu. Beliau masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, maka dakwah Islam mendapat perlawanan yang cukup sengit, akan tetapi Allah telah berkehendak memancarkan cahaya kalimah-Nya dalam hati masyarakat Ulao. Untuk mengenang jasa beliu dalam mendalam mendakwahkan Islam, nama Teungku Di Ujung diabadikan sebagai nama jalan lingkar Simeulue hingga saat ini.

Keadaan Geografis Simeulue
Simeulue terletak di sebelah barat perairan Aceh, lebih kurang 150 Km dari lepas pantai Sumatera, luasnya mencapai 2310 km². Dengan demikian pulau ini masih lebih luas dari pada Singapura. Sekitar pantai Simeulue dipenuhi oleh pohon kelapa yang tumbuh subur. Kita juga dapat menemukan sekian banyak gunung dan bukit yang hijau oleh pohon cengkeh.
Kabupaten Simeulue terletak pada posisi koordinat 20º15’- 20º55’ Lintang Utara (LU) dan 95º40’ – 96º30’ Bujur Timur (BT). Kabupaten ini terdiri dari sekitar 41 pulau besar dan kecil, termasuk pulau Simeulue dengan total luas wilayah mencapai 205.148,63 ha. Dari luas tersebut, sekitar 55.947 ha (27,3%) adalah kawasan lindung dan 43.369 ha (21,1%) adalah kawasan budidaya. Dari pembagian kawasan tersebut terlihat bahwa tutupan lahan kawasan pulau Simeulue masih cukup luas. Secara geologis, sebagian besar pulau Simeulue ditutupi oleh batuan-batuan berumur Miosen dan sisanya ditutupi oleh batuan berumur Oligosen dan batuan berumur Kuarter. Sesar-sesar beerkembang cukup baik di pulau ini dan umumnya memiliki arah Southeast (SE)-Northwest (NW) atau Northeast (NE)-Southwest (SW).
Kira-kira 2/3 pulau ini masih dipenuhi hutan lebat, karenanya ia dikenal sebagai penghasil kayu dan rotan. Akan tetapi sayang sekali, yang meraup keuntungan besar bukanlah penduduknya, melainkan 'hantu dan jin' yang datang menebang hutan, sementara masyarakat masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan.
Alam Simeulue memiliki potensi wisata yang besar karena kemolekannya. Gelombang yang tinggi sering dimanfaatkan oleh para pelancong dari mancanegara. Demikian juga pantainya menjanjikan kepuasan bagi setiap pengunjung. Jika anda datang ke Simeulue lewat laut secara legal, anda pasti akan menikmati keindahan pelabuhan Sinabang yang 'aduhai'. Kata orang, pelabuhan Sinabang ibarat air dalam baskom, tenang karena beberapa pulau melindunginya dari terpaan angin dan badai. Puluhan pulau kecil yang ada disekitarnya, seolah menjadi menjadi pagar hias bagi pulau Simeulue.
Semenjak diemekarkan pada tahun 2002, kabuten pengekspor lobster (udang laut yang besar) ini terdiri dari delapan kecamatan ; yaitu Simeulue Timur, Simeulue Barat, Teupa Selatan, Simeulue Tengah, Salang, Alafan, Teupa Barat dan Teluk Dalam.

Penduduk dan Bahasa
Penduduk Simeulue berdasarkan SP 2000 berjumlah 57.058 jiwa. Mereka tersebar di delapan kecamatan yang ada. Isin ulao kebanyakan berkulit kuning seperti orang Thionghoa. Kebanyakan penduduk bekerja sebagai petani dan nelayan. Dahulu warga Simeulue pernah merasakan hidup makmur, ketika itu harga cengkeh cukup tinggi. Namun setelah anjloknya harga, kepahitan hidup telah mulai mencekik leher warga, terutama para petani cengkeh.
Ada tiga bahasa yang dominan di kabaupaten ini ; bahasa Defayan[i], Salang[ii] dan bahasa Jamu. Bahasa Salang digunakan oleh penduduk kecamatan Salang, Simeluleu Barat dan masyarakat kecamatan Alafan. Bahasa Simoeloel digunakan oleh penduduk di kec. Simeulue Tengah dan Teupah Selatan dan Teupah Barat serta sebagian besar masyarakat di Kec. Simeulue Timur. Orang Simeulue tidak bisa berbahasa Aceh, kecuali yang pernah merantau ke Aceh daratan.
Adapun bahasa Jamu mirip dengan bahasa Minangkabau. Bahasa ini digunakan oleh sebagian penduduk di kecamatan Simeulue Timur terutama di Ibukota Sinabang, dan sebagian penduduk yang tersebar di berbagai kecamatan.
Di samping itu, terdapat dua bahasa yang hanya digunakan sebagian kecil penduduk. Kedua bahasa tersebut adalah bahasa Langi di kecamatan Alafan dan bahasa Lekon di kecamatan Teluk Dalam.

Budaya dan Adat Istiadat
Dalam hal adat istiadat, Simeulue tidak jauh berbeda dengan masyarakat Aceh pada umumnya. Hal tampak jelas dalam acara perkawinan atau khitanan. Demikian pula pakaian adatnya.
Namun ada beberapa kesenian yang khas bagi pulau ini, antara lain: Nandong, Buai, Nanga-nanga dan lain-lain. Nandong adalah menyanyikan syair-syair berbahasa daerah yang berisi nasehat-nasehat atau hikayat, disertai dengan pukulan gendang dua sisi yang bentuknya seperti tabung. Kesenian ini hanya dibawakan oleh kaum laki-laki.
Adapun Buai biasanya dilakukan oleh perempuan, berisi nyanyian syair yang mengandung pujian atau nasehat. Sedangkan Nanga-nanga merupakan nanyian yang berisi ratapan atau cerita kepahitan hidup. Ketiga kesenian ini pada dasarnya adalah nyanyian, namun dibawakan dengan irama khas yang berbeda antara satu dengan lain.
Di antara adat orang Simuelue juga adalah acara Dabus (Dabui), yaitu acara unjuk kebolehan memainkan benda-benda tajam seperti pisau, parang, kampak dan lain-lain, dengan menghujamkannya ke tubuh si pemain Dabus. Bahkan yang paling mengerikan, kadang-kadang ada yang menggunakan mesin sinso! Namun saat ini, dabus sudah agak jarang diadakan.
Beberapa adat lainnya yaitu: acara manepet (turun anak), menegakkan rumah, berdoa di blang (sawah) dan sebagainya.

Penghasilan Utama
Simeulue dikenal sebagai penghasil cegkeh, kopra dan minyak kelapa. Potensi hutan juga sangat menggiurkan, kayu dan rotan diekspor ke luar dalam jumlah besar. Banyaknya lahan yang masih 'nganggur' sangat menjanjikan dalam bidang pertanian. Tapi sayang, sarana tranportasi yang buruk menyebabkan warga tidak dapat memasarkan hasil pertaniannya. Laut juga memberikan penghasilan yang besar. Puluhan ton udang, lobster, ikan kering dan tripang diekspor setiap minggu. Demikian juga Simeulue dikenal dengan kerbaunya yang berdaging manis. Kerbau Simeulue sangat banyak, mereka hidup bebas di hutan belantara. Meskipun begitu, jangan coba hendak menganbil atau memburunya, karena kerbau-kerbau tersebut ada pemiliknya.
[i] Orang Simuelue Tengah menyebutnya bahasa Simoeloel
[ii] Sebagian peneliti menyebutnya bahasa Sigulai. Barangkali mereka melihat dari sisi geografis dan sosiologisnya. Namun sebagian tetua di Nasreuhe mengatakan kalau sebenarnya asal muasal bahasa orang Sigulai atau Simeulue Barat pada umumnya, adalah berasal dari Salang.