08 April 2009

Cita-cita, Keteguhan Tekad, dan Perubahan



Oleh : Heriyansyah Sawidin Muhammad Ja'far

”Bercita-citalah, sebab ia adalah setengah dari keperwiraan.”

Apa yang tidak berubah?
Memang zaman telah berubah. Abad ini tidaklah sama dengan masa silam, kala onta-onta menjadi tumpuan perhubungan, atau utusan raja mesti terengah-engah oleh surat gawat-darurat yang harus dihantarkan. Dahulu, dunia memiliki warna kemilau, tapi saat ini kemilau itu telah membuat silau...
Dan memang, setiap orang mesti berubah secara fisik dan mental ; dari kecil menjadi besar ; dari perangai kanak-kanak kepada sifat dan sikap dewasa.
Tapi ada yang tidak berubah (atau tidak boleh berubah), yaitu cita-cita dan tekad penuntut ilmu.
Saudaraku, tulisan singkat ini tidak bermaksud meng-kultumi (baca: menceramahi) anda, melainkan hanyalah luahan hati seorang anak manusia, yang prihatin dengan kondisi dirinya…
Sejak dahulu, cita-cita para penuntut ilmu tersimpul dalam khidmah terhadap ilmu itu sendiri, yaitu memperdalam dan menyebarkannya, dengan tujuan memberikan manfaat dan perbaikan kepada dirinya dan umat, serta menyatakan kebenaran. Semua itu mereka lakukan demi meraih ridha Allah dan pahala di sisi-Nya.
Termasuk yang tidak boleh berubah adalah, tabiat thullabil 'ilm yang pekerja keras, tekad mereka yang teguh, dan sabar dalam menghadapi kesusahan dalam menuntut ilmu.
Dari dahulu kala hingga zaman kontemporer ini, para penuntut ilmu selalu sama. Niat dan tujuan mereka satu. Thullabul 'ilm selalu teguh dan tabah dalam meraih apa yang mereka cari (baca: ilmu). Itulah mereka para penuntut ilmu sejati.
Yang tidak memiliki cita-cita dan sifat diatas, pada hakikatnya bukanlah penuntut ilmu, meski mereka berteriak: ”Akulah thalibul 'ilm!”. Yaitu mereka yang hanya mau bersenang-senang, dan tak mau menghadapi kesusahan dalam mempelajari ilmu ; Atau mereka yang belajar demi mendapatkan kesenangan duniawi. Nabi Saw. bersabda: ”Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dicari keridhaan Allah, akan tetapi ia tidak mempelajarinya melainkan untuk tujuan dunia, niscaya ia tidak akan menemukan bau surga di hari kiamat kelak.”

Jika demikian, betulkah kita seorang penuntut ilmu?
Ada orang merendah, katanya: ”Saya hanyalah seorang thalibul 'ilm.” Betulkah gelar thalibul 'ilm itu begitu rendah dan murah, sehingga dengan mudah disematkan kepada setiap orang?
Ada seorang pemuda Andalus berusia 20 tahun, namanya Baqiy bin Makhlid al-Andalusi. Keinginannya yang terbesar adalah menuntut ilmu pada Imam Ahmad di Baghdad. Akhirnya ia berangkat dari Andalus ke Baghdad dengan berjalan kaki (bayangkan jarak sejauh itu ia tempuh dengan berjalan kaki). Setibanya di Baghdad, ia mendengar Imam Ahmad sedang berada dalam mihnah khalqil Qur`an. Beliau tidak diizinkan keluar rumah. Bahkan, siapa yang datang ke rumahnya akan ditangkap oleh mata-mata penguasa untuk diinterogasi. Seandainya orang itu termasuk pendukung Imam Ahmad dalam masalah khalq Al-Qur`an maka ia juga akan dijebloskan ke penjara. Suatu kondisi yang sangat tidak memungkinkan sekaligus berbahaya untuk menuntut ilmu. Tapi apakah kondisi ini membuat ciut nyali tokoh kita ini?
Ternyata tidak. Niat yang tulus dan tekad yang membara membuatnya tak ingin berbalik. Dengan pakaian pengemis, ia datangi Imam Ahmad yang sedang menjalani tahanan rumah. Dengan suara parau ia berucap: "al-ajru rahimakumullah..." (minta sedekah, semoga Allah merahmatimu). Saat Imam Ahmad keluar menemuinya. ia sampaikan maksud kedatangannya ke Baghdad, dan ia telah menempuh jarak yang jauh untuk tujuan itu. Imam Ahmad tidak ingin mengecewakannya. Tapi beliau juga dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk memenuhi keinginan tamu dari Andalus ini. Akhirnya Baqiy mengusulkan sesuatu kepada Imam Ahmad. "Wahai Imam, aku adalah orang baru di sini dan belum ada yang mengenalku. Aku akan datang padamu setiap hari dengan pakaian pengemis lalu pura-pura minta sedekah, kemudian tuan keluar menemuiku dan menyampaikan satu hadits padaku. Seandainya tidak ada yang aku dapatkan kecuali satu hadits setiap hari sungguh itu cukup bagiku."
Imam Ahmad menyetujui usul cerdas itu. Dari metode cerdas dan penuh berani ini ia berhasil mengumpulkan tiga ratus hadits dari Imam Ahmad selama masa mihnah-nya.
Setelah masa mihnah Imam Ahmad berlalu, Baqiy mendapat tempat tersendiri di hati Imam Ahmad. Setiap ia datang ke majlis ilmu, Imam Ahmad selalu menyambutnya dengan wajah berseri. Sampai suatu ketika Imam Ahmad berkata tentang Baqiy: "Hadzallazi yastahiqq an yuthlaq 'alaih ismu thaalibil 'ilm (Inilah yang berhak disebut sebagai thalibul 'ilm)."
Bagaimanakah dengan kita? Tabahkah kita dengan musin dingin yang menggemeretakkan gigi? Dan musim panas yang menguras peluh? Adakah kita mampu bersabar menghadapi macetnya jalan-jalan Kairo? Ataukah kita takluk dengan kesukaran yang ada?
Jika kita tidak juga bersungguh-sungguh karena hangatnya musim panas, lalu kita kalah oleh sejuknya musim dingin, sementara di musin semi kita terlena oleh angin yang semilir dan taman yang mekar, maka sungguh merugilah kita ini.
Mari sesaat kita menerawang. Bukan ke langit dan awan. Bukan kepada senja yang menyemburatkan mega merah. Dan tidak pula kepada laut dan ombak yang memecah. Akan tetapi kepada diri sendiri ; Apakah yang kita perbuat? Bukankah di sana mereka menaruh harapan besar kepada kita? Bukannya ingin menakut-nakuti, tapi memang, sadar atau tidak, dia tas bahu dan pundak kita ada tanggun gjawab. Yaitu tanggung jawab seseorang yang menamakan dirinya seorang penuntut ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar