06 April 2009

Talfiq dalam Pembincangan Ulama


Oleh:
Heriyansyah Sawidin Muhammad Jakar


Taqdîm
Akibat munculnya ide taqlîd di kalangan kaum muslimin, timbullah perbincangan seputar syarat-syarat kebolehannya. Dari sinilah munculnya fikrah (ide) talfiq. Permasalahan talfiq tidak diperbingcangkan di kalangan ulama kecuali setelah abad ke-7 hijriyah.

Pengertian Talfîq
Talfîq dalam istilah para ulama adalah membuat (melakukan) suatu kaifiyat yang tidak terdapat dalam pendapat mujtahid.
Bentuk talfiq: Seseorang bertaqlid kepada mazhab-mazhab, dan melakukan suatu ibadah (amalan) yang memiliki beberapa rukun dan juz'iyat dengan dua qaul (mazhab) atau lebih secara sekaligus. Misalnya, menggunakan mazhab Syafi'i dalam sebuah rukun, dan dengan mazhab Hanbali pada rukun yang lain. Ataupun mengambil mazhab Syafi'i dalam masalah rukun wudhu', sedangkan dalam hal-hal yang membatalkan wudhu' ia menggunakan mazhab Hanafi.

Ruang Lingkup Talfiq
Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-perkara ijtihaad yang bersifat zhanniyah. Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menajdi ijma’, yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.


Hukum Talfîq
Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan.
Mayoritas ulama mutaakhkhirin mensyaratkan dalam kebolehan taqlid, bahwa ia tidak mengakibatkan talfiq antara mazhab. Bahkan ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.
Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'. Akan tetapi mereka (yang mengharamkan talfiq) menurut pendapatku, terbantahkan dengan hujjah dan dalil-dalil.”

Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah. Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena mengqiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:
1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.
2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim adanya ijma' adalah bathil.
Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq).”
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: ”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahn telah menjadi ijma', pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”

Dalil Kelompok yang Membolehkan
Setelah me-munaqasyah-kan pendapat golongan yang melarang talfiq, dan jelas kelemahan dalil mereka, berikut ini alasan-alasan golongan yang membolehkan.
1. Talfiq tidak dikenal di kalangan kaum salaf, semenjak masa Rasul hingga Imam yang empat dan murid-murid mereka. Pada zaman Rasulullah Saw. talfiq tidak dikenal karena merupakan masa turunnya wahyu, maka tidak ada majal bagi ijtihad. Adapun sesudah itu, fuqaha' memberikan fatwa, akan tetapi para ulama pada masa-masa tersebut tidak melarang untuk mengambil pendapat ulama atau mazhab yang lain. Bahkan Imam yang empat terkadang mengikuti Imam lain dalam sebuah amalan yang ia berbeda pendapat dengannya.
2. Sekiranya pendapat yang mengharamkan talfiq kita anggap benar, niscaya hal itu bertentangan dengan ketetapan mayoritas ulama yang tidak mewajibkan iltizâm dengan mazhab tertentu. Apabila iltizam dengan mazhab tertentu tidak wajib, berarti talfiq hukumnya boleh. Jika tidak, hal itu akan menyebabkan batalnya ibadah orang awam, karena hampir tidak kita temui orang awam yang seluruh amalannya sesuai dengan sebuah mazhab tertentu.
3. Pendapat yang melarang talfiq sangat bertentangan dengan dasar tegaknya syariat, yaitu memberi kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan. Orang awam tidak mungkin untuk secara penuh beramal berdasarkan mazhab tertentu, maka pengharaman talfiq akan menimbulkan kesukaran dan kesempitan, sedangkan agama datang untuk memberi kemudahan dan melenyapkan kesukaran.
4. Pengharaman talfiq akan membawa kepada haramnya taqlid yang telah mereka wajibkan atas orang awam.

Menurut penulis, pendapat yang mengharamkan talfiq tidak tertegak di atas hujjah, melainkan ia batal dengan hujjah. Sesungguhnya agama ini adalah satu, dan syariat adalah satu. Tidak terdapat nash yang memerintahkan untuk iltizam dengan sebuah mazhab saja, tidak pula ada satu ayat atau hadits pun yang melarang talfiq. Lagi pula, talfiq tidak dikenal di kalangan ulama salaf, bahkan tidak dikenal di masa Imam yang empat dan murid-murid mereka. Imam yang empat yang tidak pernah menyuruh untuk iltizam dengan mazhabnya atau satu mazhab tertentu. Apabila shâhibul mazhab sendiri tidak menyuruh demikian, dan tidak pula melarang mengambil pendapat mazhab lain, maka bagaimana mungkin orang yang bukan pemilik mazhab melakukan hal itu???

Al Kamâl bin Hammâm berkata dalam kitab At Tahrir: ”Seorang muqallid boleh bertaqlid kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jika ia mengambil pendapat yang paling ringan (mudah) dari berbagai pendapat-pendapat mazhab, saya tidak mengetahui ada larangannya, baik dari naql maupun 'aql. Dan apabila seseorang mencari pendapat yang paling ringan baginya dari pada pendapat seorang mujtahid, tidak aku ketahui ada celaan atasnya dari syariat, sedangkan Rasulullah menyukai sesuatu yang ringan atas umatnya”.

Sesungguhnya agama ini adalah mudah dan tidak sulit. Dan pendapat yang membolehkan talfiq merupakan pintu kemudahan bagi umat ini. Mazhab-mazhab bukan agama-agama, sehingga haram untuk digabungkan. Tidak seperti sekte-sekte Nasrani atau Yahudi, mazhab-mazhab dalam Islam merupakan satu kesatuan. Ia adalah komponen-komponen agama, yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Merupakan kewajiban umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah di saat terjadi khilaf, pendapat mana yang paling dekat kepada dua sumber ini, itulah yang harus kita ambil, tanpa i'tibar kepada mazhab-mazhab. Maka kebolehan talfiq merupakan jalan bagi umat Islam, untuk dapat menunaikan amal ibadah dengan cara dan bentuk yang paling baik dan sempurna.

Talfiq yang Terlarang
Walau demikian, para ulama yang membolehkan talfiq juga melarang beberapa bentuk talfiq, yang akan kita sebutkan secara ringkas insya Allah.
1. Talfiq yang terlarang karena dzatnya sendiri. Yang demikian seperti bahwa talfiq tersebut membawa kepada penghalalan khamar, zina, dan yang seumpamanya.
2. Talfiq yang terlarang bukan karena dzatnya. Jenis ini ada tiga macam:
- Melakukan talfiq dengan maksud mencari keringanan (rukhshah). Misqalnya seseorang mengambil yang paling ringan dari setiap mazhab, tanpa ada unsur darurat atau udzur. Termasuk ke dalam jenis ini: mencari keringanan untuk bermain-main dengan syariat, dan mengambil pendapat-pendapat yang lemah untuk atas dasar kelezatan dan syahwat.
- Talfiq yang menyebakan jatuhnya keputusan hakim, karena hukum yang ditetapkan hakim adalah untuk menghilangkan pertentangan dan menghindarkan kekacauan.
- Talfiq yang menyebabkan mundur (menarik diri) dari sesuatu yang sudah dilakukan secara taqlid, atau menarik diri dari sesuatu yang telah disepakati merupakan lawaazim (akibat yang tidak dapat dihindari) dari masalah yang dilakukan dengan taqlid. Contoh yang pertama: jika seseorang mentalaq isterinya dengan mengatakan: 'engkau tertalaq buat selamanya', yang menurutnya jatuh talaq tiga dengan lafazh tersebut, dan ia berazam bahwa wanita tersebut telah haram atasnya, kemudian setelah itu ia berpendapat bahwa itu adalah talaq raj'iy, lalu ia ingin rujuk kepada wanita tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Contoh bentuk kedua, jika seseorang bertaqlid kepada Abu Hanifah tentang sahnya nikah tanpa wali, niscaya sah apabila ia menjatuhkan talaq, sebab sahnya talaq merupakan laazim (akibat yang tidak dapat dihindari) dari sahnya akad nikah berdasarkan ijma'. Lalu, apabila ia mentalaq isterinya dengan thalaq tiga, dan ia bertaqlid kepada Syafi'i dalam hal tidak jatuhnya thalaq karena keadaan nikah yang tanpa wali, hal ini tidak dibolehkan baginya, karena ia menarik diri taqlid pada sesuatu yang lazim secara ijma'.
Akan tetapi perlu dimaklumkan, bahwa terlarangnya talfiq yang menyebabkan menarik diri dari apa yang telah ia lakukan secara taqlid, hanyalah apabila hal itu terjadi pada sebuah kejadian, sedangkan apabila yang melakukan pada kejadian yang berbeda, misalkan pada pernikahannya yang pertama, ia mengambil mazhab Hanafi tentang sahnya nikah tanpa wali, kemudian pada pernikahan yang lain ia mengambil mazhab Syafi'i bahwa nikha tanpa wali tidak sah, maka yang seperti ini dibolehkan.
Hal ini dilarang karena ia mengakibat rusaknya sendi-sendi syariat, dan membawa kepada kekacauan, seperti hubungan yang haram (zina), dan menyebabkan anak-anak menjadi anak-anak zina.
Adapun dalam permasalahan ibadah dan takâlîf yang Allah berikan kelapangan di dalamnya, maka talfiq tidak terlarang, meski menyebabkan penarikan diri dari apa yang telah ia lakukan dengan taqlid.

Kesimpulannya:
Kriteria kebolehan talfiq ataupun terlarangnya adalah, apabila talfiq menimbulkan pengacauan terhadap sendi-sendi agama atau bertentangan dengannya, serta melenyapkan hikmah syariat, maka talfiq tersebut haram hukumnya. Apabila talfiq tersebut menyokong sendi-sendi syariat serta hikmah-hikmah di dalamnya, maka hal itu dibolehkan.
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili mengatakan: ”Talfiq yang dibolehkan menurut pendapatku adalah ketika ada hajat dan dharurat kepadanya, bukan karena kesia-siaan dan atau mencari pendapat yang paling mudah dan enak, tanpa maslahat syar'iyah. Dan talfiq itu terbatas pada sebagian hukum-hukum ibadah, dan muamalat yang bersifat ijtihadiyah, bukan qath'iyah”.
Wallamu a'lamu bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar